Belakangan ini istilah Industri 4.0 santer menghiasi media massa maupun media sosial. Ada juga yang menyebut era ini dengan era disrupsi, atau situasi dimana pergerakan dunia industri tidak lagi linier. Bahkan berlangsung sangat cepat dan cenderung mengacak-acak pola tatanan lama, dan cenderung membentuk pola tatanan baru. Revolusi industri telah terjadi empat kali, 1) dengan penemuan mesin uap; 2) elektrifikasi; 3) penggunaan komputer; dan 4) revolusi era digital ini.
Kondisi yang saling mendisrupsi ini dapat terjadi karena pesatnya perkembangan teknologi digital. Seperti kecerdasan buatan atau AI (artificial intelligent), yang jika dipadukan dengan internet of thing (IoT) akan mampu mengolah major data menjadi suatu keputusan atau kesimpulan.
Kemudian melalui Society 5.0, kecerdasan buatan yang memperhatikan sisi kemanusiaan akan mentransformasi jutaan data yang dikumpulkan melalui internet pada segala bidang kehidupan. Tentu saja diharapkan, akan menjadi suatu kearifan baru dalam tatanan bermasyarakat. Tidak dapat dipungkiri, transformasi ini akan membantu manusia untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna. Dalam Society 5.0, juga ditekankan perlunya keseimbangan pencapaian ekonomi dengan penyelesaian problem sosial.
Fenomena berjejaring di dunia virtual telah menjelma ke sebuah kondisi kultural baru di lingkungan masyarakat kontemporer kita di Indonesia. Dalam laporan Digital in 2018: Essential Insights into Internet, Social Media, Mobile, and Ecommerce Use around the World (Kemp, 2018), menunjukkan 132,7 juta pengguna internet, 130 juta pengguna aktif media sosial, 177,9 juta pengguna perangkat seluler dan 120 juta pengguna jejaring sosial dari total 265,4 juta jiwa populasi penduduk Indonesia.
Jaringan internet telah masuk ke pelosok-pelosok, sehingga apa yang dapat diakses di kota juga dapat diperoleh oleh yang berada di desa. Bentuk batasan antara kota dan desa tak lagi beda, meskipun masih terdapat nilai yang membedakan bagaimana masyarakat kota dan desa menjalani kehidupan. Nilai tersebut tergambar dari pemanfaatan kesenian tradisional ke dalam pelbagai festival nasional maupun internasional, meski lebih diarahkan pada persoalan pariwisat dengan menggunakan sumber daya sekitar. Perihal sumber daya ini menggambarkan idnetitas local wisdom (adat dan tradisi natural) pada lingkungan dan masyarakat kulturalnya masing-masing yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan hingga kesenian tradisional mampu mengungkap praktik artistik dan proses adaptasi masyarakat dalam merespon pelbagai peristiwa di lingkungannya. Pengembangan kesenian tradisional ke berbagai bentuk media dan produk, serta turut mendefinisikan kreativitas masyarakat dalam memanifestasikan pemahamannya sebagai sebuah local knowledge (sistem dan adab kultural) di era digital dewasa ini.
Program Studi Pendidikan Seni Pertunjukan, melalui Seminar Nasional Pendidikan Seni Pertunjukan 2024 mencoba menelisik perkembangan zaman yaitu era society 5.0 ini dengan membatasi wilayah kajian di pendidikan seni pertunjukan. Tentunya dalam seminar ini menghadirkan para narasumber yang profesional, seperti Prof. Dr. Elindra Yetti, M.Pd. (Universitas Negeri Jakarta), Purwa Caraka (Purwa Caraka Music Studio), dan Dr. Ayu Niza Machfauzia, M.Pd. (Universitas Negeri Yogyakarta). Ketiga narasumber tersebut memaparkan paradigma nya mengenai Peran Seni Pertunjukan dalam Pembelajaran di Era Society 5.0.
Sebelum pemaparan materi dari ketiga narasumber, Seminar Nasional Pendidikan Seni Pertunjukan ini diawali dengan sambutan-sambutan dari ketua panitia, ketua program studi Pendidikan Seni Pertunjukan, dan dibuka oleh Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Dr. H. Fadlullah, S.Ag., M.Si.
Pemaparan pertama diawali paparan materi dari Prof. Dr. Elindra Yetti, M.Pd., yang membahas tentang daya cipta atau kreativitas adalah sebuah proses mental dimana gagasan dan konsep baru atau hubungan baru antara gagasan dan konsep yang sudah ada akan muncul. Siswa dan mahasiswa memiliki peranan yang sangat penting dalam era society 5.0 yaitu sebagai agen of change sekaligus menjadi generasi penerus bangsa, dan harus memberikan perhatian lebih terhadap kondisi negara saat ini, generasi penerus bangsa harus berperan sebagai pemimpin agar dapat menghasilkan kreativitas dan inovasi dengan memperkaya literasi serta mempunyai wawasan yang lebih luas dengan adanya perkembangan teknologi.
Pemaparan kedua dari Purwa Caraka, yang membahas tentang nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam proses kreatif Orchestra yang 1) Melatih agar bermain musik dengan baik dan benar, 2) Memberikan wawasan serta pengetahuan tentang teori musik dasar, lagu kebangsaan, dan lagu genre lainnya (pop, dangdut, dll), 3) Melatih kedisiplinan dalam konteks disiplin waktu, disiplin bermusik, dan disiplin belajar , 4) Menumbuhkan sikap dalam hal tenggang rasa dan toleransi serta bertanggung jawab, menghargai satu sama lain, 5) Melatih kesabaran, dan 6) Menumbuhkan rasa percaya diri. Berdasarkan pengalamannya mendirikan Purwa Caraka Music Studio selama 36 tahun ini berkomitmen untuk terus berinovasi dan berkontribusi memberikan yang terbaik untuk seluruh murid, khususnya dalam menghadirkan musik anak-anak, dan memberikan kontribusi kompetensi musik anak bangsa dengan tetap adaptif mengikuti perkembangan zaman.
Pemaparan ketiga dan sebagai paparan penutup dari Dr. Ayu Niza Machfauzia, M.Pd., diawali dengan mengajak peserta seminar nasional untuk berinteraksi dengan materi yang sudah disiapkan. Bu Ayu nampaknya mencoba mengajak peserta seminar untuk menyimak, bergerak dan mendengarkan media yang ditayangkan olehnya. Dalam media tersebut memberikan gambaran bahwa media pembelajaran seni itu harus menarik dan adaptif. Apalagi media pembelajaran seni untuk anak harus mengandung multi manfaat dan kolaboratif dalam konsep teknis pembuatan media nya agar menarik dan interaktif.
Dari kegiatan ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan seni memiliki potensi dan posisi untuk membina inteligensi dan imajinasi anak-didik. Kekuatan ini dapat tercapai melalui percerminan artistik dan pengalaman estetik dalam berekpresi dan berkreasi secara kreatif dan inovatif pada ekosistem belajar yang kondusif. Oleh sebab itu, pendidikan seni perlu di terapkan dari segi visual, aural, haptik, literal perlu dipertautkan kembali sehingga mampu memupuk kesadaran artistik dan kepekaan estetik anak-didik (sesuai dengan kecenderungannya), sehingga mampu membangun daya kritisnya sendiri. Keterkaitan antara Society 5.0 dan Revolusi Industri 4.0 pada pendidikan seni dapat dilihat pada kasus kesenian yang beredar pada masyarakat atau kesenian tradisional dimana para pendidik seni, baik akademisi maupun praktisi, diharapkan mampu melakukan riset berkelanjutan untuk meneliti dan mengkaji bentuk-bentuk dan konsep-konsep setiap perkembangan seni: pengembangan dan penerapannya, berbasis kearifan lokal dan kemajuan telekomunikasi serta informatika.
Penulis: Dadang Dwi Septiyan